AcehBeritaHukum

Musliadi Bantah Minta Maaf: Saya Hormat ke Polisi, Bukan ke Geuchik Sewenang-wenang

×

Musliadi Bantah Minta Maaf: Saya Hormat ke Polisi, Bukan ke Geuchik Sewenang-wenang

Sebarkan artikel ini

“Saya tidak pernah meminta maaf kepada geuchik yang sewenang-wenang. Kalau pun saya datang ke rumahnya, itu semata karena permintaan dari pihak Polsek Syamtalira Bayu. Saya datang demi menghargai aparat kepolisian, bukan karena saya merasa bersalah terhadap geuchik,” tegas Musliadi kepada wartawan, Selasa (24/6/2025).

 

Netralpost. Aceh Utara –  Musliadi, seorang warga Gampong Punti, Kecamatan Syamtalira Bayu, Aceh Utara, angkat bicara terkait pemberitaan yang menyebut dirinya telah meminta maaf kepada Geuchik (Kepala Desa) Punti, Safriani.

 

Klarifikasi ini disampaikan Musliadi menyusul beredarnya informasi yang dianggap telah menyudutkan dirinya dalam polemik peminjaman tenda desa untuk hajatan keluarga.

 

“Saya tidak pernah meminta maaf kepada geuchik yang sewenang-wenang. Kalau pun saya datang ke rumahnya, itu semata karena permintaan dari pihak Polsek Syamtalira Bayu. Saya datang demi menghargai aparat kepolisian, bukan karena saya merasa bersalah terhadap geuchik,” tegas Musliadi kepada wartawan, Selasa (24/6/2025).

 

Musliadi juga membantah klaim bahwa dirinya tidak memberitahu lebih dulu kepada geuchik soal rencana hajatan keluarganya. Ia mengaku enggan berkoordinasi karena selama ini geuchik bersikap tidak peduli terhadap kegiatan warga, termasuk saat ibunya meninggal dunia.

 

“Geuchik bahkan tidak datang melayat saat orang tua saya meninggal. Jadi saya tidak merasa perlu memberi tahu soal hajatan. Saya juga termasuk warga yang berbeda pandangan dengan kepemimpinan geuchik. Mungkin itu sebabnya saya diperlakukan berbeda,” lanjut Musliadi.

 

Sebelumnya, dalam salah satu media dilaporkan bahwa Geuchik Safriani merasa tidak dihargai karena tidak diberitahu terkait hajatan tersebut, sehingga memutuskan untuk tidak mengizinkan penggunaan tenda yang merupakan aset desa. Pernyataan tersebut dinilai Musliadi sebagai bentuk pembelokan fakta dan upaya membenarkan tindakan sewenang-wenang geuchik.

 

“Alat-alat milik desa seperti tenda dan kursi yang dibeli dari dana desa sering kali hanya boleh dipinjam oleh warga yang dianggap “sejalan” dengan kepemimpinan geuchik,”ujarnya.

 

Sejumlah warga Gampong Punti juga menyebutkan bahwa geuchik kerap mempersulit warga dalam hal admistrasi pembuatan NA nikah dan meminta biaya admistrasi sebesar Rp500. Namun, masyarakat tidak berani melapor karena dikhawatirkan mengarah ke pribadi pelapor tersebut

 

Salah satu warga, Amat, mengungkapkan kekecewaannya karena geuchik menolak meminjamkan tenda untuk keperluan acara khitanan warga. Padahal permintaan sudah disampaikan secara baik-baik dan bahkan difasilitasi oleh Babinkamtibmas Polsek Syamtalira Bayu serta Tuha Peut gampong. Namun geuchik tetap bersikukuh menolak, dengan alasan yang tidak jelas.

 

“Kunci gudang peralatan dipegang langsung oleh geuchik. Kami sudah minta dengan baik, bahkan aparat sudah turun tangan, tetap saja ditolak. Ini bukan pemimpin rakyat, tapi seperti pemilik pribadi desa,” ujar Amat dengan nada kesal.

 

Warga menduga penolakan geuchik merupakan bentuk balas dendam karena dilaporkan atas dugaan korupsi dana desa senilai hampir Rp700 juta yang saat ini sedang diselidiki oleh Polres Lhokseumawe.

 

Kasus Korupsi Dana Desa: Penyelidikan Masih Berlanjut

Seperti diberitakan sebelumnya, Geuchik Safriani saat ini tengah terseret dalam penyelidikan dugaan korupsi dana desa untuk tahun anggaran 2021 hingga 2023. Hasil audit Inspektorat Aceh Utara menemukan adanya potensi kerugian negara mencapai hampir Rp700 juta.

 

Kasat Reskrim Polres Lhokseumawe, Iptu Yudha Prasetya, menyatakan bahwa pihaknya telah memanggil enam orang saksi, termasuk bendahara dan Pelaksana Teknis Kegiatan (PTK). Namun, tiga di antaranya belum kooperatif, bahkan salah satu terduga, Mahrizal, diduga kabur ke Jakarta.

 

“Geuchik juga menolak menandatangani surat pernyataan dan hingga kini tidak menunjukkan itikad baik untuk mengganti kerugian negara,” jelas Yudha. Ia menambahkan, penyelidikan akan terus didalami, dan kemungkinan akan ada audit lanjutan.

 

Warga Minta Penegakan Hukum dan Perlindungan Hak

Warga Gampong Punti kini semakin resah, bukan hanya karena dugaan korupsi, tapi juga akibat tindakan diskriminatif dan otoriter geuchik dalam mengelola aset desa. Mereka mendesak agar pihak berwenang turun tangan lebih serius dan memastikan hak seluruh warga dapat dilindungi tanpa pandang bulu.

 

“Kami bukan mau ribut, kami hanya ingin keadilan. Aset desa itu milik bersama, bukan milik pribadi seorang geuchik. Jangan karena kami berbeda pendapat, lantas kami dikebiri hak sebagai warga,” pungkas Musliadi.

 

Situasi di Gampong Punti menjadi gambaran betapa pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan kepemimpinan yang adil dalam pemerintahan desa. Ketika pemimpin bersikap otoriter dan memperalat wewenangnya untuk kepentingan pribadi, maka keharmonisan masyarakat pun menjadi taruhannya.