JAKARTA – Kasus kriminalisasi terhadap pengusaha asal Aceh, Faisal bin Hartono, semakin memperlihatkan sisi kelam penegakan hukum di Indonesia. Hanya karena konflik bisnis dengan rekannya, Fadh El Fous bin A Rafiq alias Fadh A Rafiq, Faisal harus menanggung enam laporan polisi (LP) sekaligus di Polda Metro Jaya.
Ironisnya, keenam LP tersebut hanya berputar-putar pada tuduhan klasik: penipuan/penggelapan dan kekerasan seksual. Pola tuduhan seperti ini kerap dipakai untuk menghancurkan lawan bisnis maupun politik.
Lebih mencengangkan lagi, muncul fakta adanya suap Rp300 juta yang diterima Kompol Anggi Fauzi Arfandi Hasibuan, S.H., dari pelapor Yosita Theresia Manangka dan Fadh A Rafiq. Fakta ini terbongkar dalam sidang kode etik Propam Polda Metro Jaya. Artinya, tuduhan terhadap Faisal sejak awal sarat rekayasa, dipelintir, bahkan diperdagangkan.
Yosita, misalnya, dua kali melaporkan Faisal dengan tuduhan berbeda: pertama penggelapan, lalu tiba-tiba mengaku korban kekerasan seksual. Sementara Rully Indah Sari, kader Partai Golkar, mendadak melapor telah dilecehkan Faisal pada 30 Oktober 2022. Anehnya, laporan itu baru dibuat tiga tahun kemudian.
Padahal, bukti lapangan justru membantah. Pada tanggal yang dituduhkan, kantor Visitama tempat kejadian versi Rully sedang tutup karena libur Minggu. Faisal berada di acara keluarga, sedangkan “saksi kunci” Fadh A Rafiq malah berada di Pekanbaru menghadiri pelantikan Bapera Riau. “Luar biasa edan.!!” kata seorang praktisi hukum menanggapi kejanggalan ini.
Merasa dizalimi dengan tuduhan rekayasa, Faisal akhirnya mengadu ke Mabes Polri. Didampingi kuasa hukumnya, Dr. Abdul Gofur, S.H., M.H., Faisal menyerahkan surat setebal tujuh halaman kepada Irwasum Polri berisi permohonan perlindungan hukum.
“Proses hukum yang dialami klien kami sarat rekayasa dan jauh dari ketentuan hukum. Kami minta dilakukan gelar perkara khusus agar fakta sebenarnya terbongkar,” tegas Gofur.
Ia menambahkan, kriminalisasi Faisal bukan sekadar persoalan pribadi, melainkan indikasi kuat adanya praktik mafia hukum di tubuh Polda Metro Jaya.
Pergantian pucuk pimpinan di Polda Metro Jaya yang baru saja berlangsung, kini diuji lewat kasus Faisal. Banyak pihak menilai, para penyidik sengaja membenturkan kasus rekayasa Faisal dengan citra Kapolda baru. Jika tidak segera ditangani, preseden buruk ini bisa mencoreng reputasi Kapolda yang selama ini dikenal bersih dan berprestasi.
Kemarahan publik pun bermunculan. Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., M.A., alumni Lemhannas PPRA-48, menilai apa yang terjadi pada Faisal hanyalah puncak gunung es.
“Polri sekarang lebih mirip sarang mafia hukum. Warga bisa dipenjarakan hanya karena tidak punya uang atau tidak punya backing. Polisi mengkriminalisasi orang benar, sementara orang salah dibela habis-habisan,” kecam Wilson.
Ia mendesak Kapolri melakukan bersih-bersih besar-besaran. “Oknum aparat yang sudah busuk otak dan jiwanya tidak cukup hanya dipindah atau disanksi ringan. Mereka harus dibinasakan dari institusi Polri,” tegasnya. (Rilis)